from my BEST FRIEND

Teruntuk,
L.u.t.h.f.i.a D.i.s.h.a P.u.t.r.i

Bismillah, Assalamu’alaikum…
Ini Ceritaku untukmu, Sahabatku…
Sebagai bentuk ungkapan terima kasih yang tak pernah berbentuk…
Sebagai memori panjang bersamamu…
Tak banyak yang bisa kuberikan padamu, maafkanlah dengan kerelaan hatimu…
Terima kasih kawan… telah ada untukku.
… Udah tua ya, enam ribu Sembilan ratus tiga puluh Sembilan hari umurmu, haha, itu juga kalau aku tak salah hitung… hehe
Baarokallahu fii Umrik, semoga lekas menemukan kedamaian dalam hatimu.
Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan untukmu, semoga dengan lapang kau menyimpannya… J

Maaf ya ceritanya belum kelar.
Cisalak, 28 Januari 2014
Salam sayang, dari yang kelumit akalnya sulit diurai dengan nalar kebanyakan,
J
F.a.y.y.a.d.h Z.y.a.h


            ‘Aku ingin pulang…’ Bisik Nala di sudut hatinya.
            Segaris senyum berusaha ia lukis di wajahnya yang sendu. Angannya jauh terbang ke ujung cita yang ia bangun setinggi langit. Nala me-set otaknya untuk tak merasakan sakit yang kian mencekik.
            “Kamu kenapa Na?” Disha, karibku tampak khawatir melihatku semakin pucat sepulang jalan-jalan di Salman.
            “Aku ngga apa-apa kok.” Jelas aku bohong.
            “Kamu istirahat duluan gih. Kamu sih ngga bilang dari tadi. Aku kan jadi khawatir.” Seolah nafasku perlahan terhenti, tak ada lagi tenaga yang menopang tubuh kurusku, aku terbaring di tempat tidur Disha. Dengan mata terpejam, aku merasakan kain yang menyelimuti.
            Esoknya aku masih berada di tempat kos Disha. Kami sedang absen bulanan, tentunya sarapan saat semua orang berpuasa. Hari itu aku banyak diam. Terpaku merenung beberapa permasalahan yang sangat mengganggu. Beberapa saat aku memutuskan untuk pulang. Sorenya aku pamit.
            “Cepet sembuh ya. Ngga apa-apa aku cuma nganter kamu sampai sini?”
            “Ngga apa-apa kok. Aku masih kuat.” Sesungging senyum kupasang seiring ucapan terima kasih yang terlontar. Terima kasih banyak kawan… Jazakillah.
***
            Hari demi hari kian rapat Nala mengunci bibirnya. Ia sembunyikan sakit yang telah lama ia tahan. Biarlah akan kusimpan sendiri rasa sakit ini. Nala selalu keukeuh jika disarankan untuk memberitahu orangtuanya agar segera diberi perawatan medis.
            Sampai suatu hari…
            “Anak ibu harus dirawat inap. Dari berbagai pemeriksaan dan hasil rontgen, disini, disini, dan disini ada komplikasi di paru-parunya.” Seketika aku langsung terisak, aku harus kembali ke Rumah Sakit setelah setengah tahun lalu menginap dirawat karena gigitan Aides Aygepti.
            “Dokter, bisa ngga anak saya dirawatnya habis lebaran aja?” Dengan kalut umiku mengajukan permintaan yang tidak masuk akal. Saat rasa khawatir berubah menjadi ketakutan, Dr. Heru memarahi umiku. Aku membutuhkan perawatan sekarang juga atau mungkin aku kehilangan nyawa, tukasnya. Tanpa ba-bi-bu lagi, umiku menyetujui untuk menjalani rawat inap di penghujung Ramadhan yang syahdu.
            Siang itu terlihat begitu banyak sekali pasien yang melakukan chek up. Sebelum kamar untukku siap, umiku mondar-mandir mengurus administrasi dan mengabari keluarga, aku mengobrol dengan sesama pasien. Ternyata ada yang lebih parah dariku dan beberapa diantaranya ada yang menikmati sakitnya tanpa keluh.
            “Sakit itu ya diterima aja dengan ikhlas neng, jangan mentang-mentang sakit jadi semuanya serasa susah. Bapak aja udah berkali-kali dirawat, pindah-pindah rumah sakit, tapi Alhamdulillah bapak merasa senang. Banyak yang sakitnya lebih parah.” Tiba-tiba Pak Ujang pergi dari kursi tunggu di sebelahku, ternyata beliau membantu berjalan pasien yang baru datang kemudian memberikan tempat duduk untuknya. Pelajaran hari itu, meskipun dalam keadaan sakit tak menjadi halangan untuk memberikan sebuah bantuan. Apapun itu.
            Tak lama seorang suster memanggil namaku, segera aku menghampirinya. Gelang pink tanda pengenal pasien pun melingkar untuk ketiga kalinya di pergelangan tanganku yang mungil. Tertera Nn. Nala Rahma, 17th. Siang ini resmi menjadi pasien rawat inap Rumah Sakit Rotinsulu.
            “Jalan kaki aja suster, masih kuat kok.” Kupikir dengan berjalan ke kamar rawat, umiku melihat sakitku tak separah yang dokter katakan tadi. Sepanjang koridor Rumah Sakit terus kutatap langkah kaki. Sesekali kulihat sekeliling, tak tampak remaja seusiaku disana. Pikiranku berkecamuk, kegelisahan itu kututupi dengan kepala tertunduk.
            Kuingat-ingat sejak kapan aku merasakan sakit ini kambuh. Sepertinya saat sekitar lima bulan yang lalu. Jangankan untuk tertawa, untuk sedikit bicara pun terasa seolah selang udara ke Paru-paru akan putus. Begitu sakit. Kemudian teringat kejadian yang paling mengerikan dalam hidupku, muntah darah. Benar-benar darah yang banyak yang kumuntahkan. Ketakutanku begitu dasyat sampai hanya kupendam sendiri saja. Sebenarnya aku sudah mengira kejadian hari ini akan benar-benar terjadi.
            Akhirnya aku sampai di ruang Mawar. Kamar kelas dua untuk empat orang pasien. Di ranjang nomor satu sudah terisi. Bersyukur bukan lagi sepuh yang sekamar denganku. Kubaringkan tubuh yang terasa semakin melemah. Kutatap wajah umiku yang lelah. Raut kesedihannya tak kunjung berkurang. Ketakutannya pun nampak begitu jelas. Memang sudah dua saudariku meninggal karena sakit. Tentu saja, perasaan yang sama bergejolak dalam dadaku yang semakin menyempit.
            Jarum infus dengan selang panjang yang menyalurkan tetesan cairan bening menancap di lengan. Sedikit perih memang, tapi perlahan cairan yang masuk terasa dingin. Tabung oksigen yang dibawa petugas kini berdiri kukuh di samping ranjang nomor tiga, tepat disamping tubuhku terbaring. Selang hijau itu berujung di hidungku. Perasaan lebih lapang setelahnya membuatku tertidur.
***
            “Nn. Nala Rahma?”
            “Disini sus, saya ibunya.”
            “Dr. Dijah meminta ibu datang ke ruang jaga.”
            Lima belas menit berlalu sejak ibu meninggalkan ruangan, kupandangi jendela yang terbuka. Tak Nampak seorangpun disana. Hanya taman sempit dan belakang bangunan ruang pasien lain yang berjajar. Begitu sepi disini, kesendirian menerkam akal sehatku. Menyesal kutinggal hp di rumah tadi pagi.
            Terdengar suara derap kaki mendekat, gorden diseret dibuka. Muncul umiku tampak sangat gusar dan menahan tangis. Tatapanku mengandung banyak tanda tanya tapi lisan ini tak sanggup berkata-kata. Diam adalah cara bertanya yang paling tepat saat itu.
            “Ya Allah, tadi kamu masih ngga apa-apa.” Hanya itu yang tertangkap pendengaranku. Bersamaan dengan termenungnya umi, jantung terasa memompa darah semakin cepat… dag..dig..dug..
            “Kenapa umi? Dokter bilang apa?” rasa penasaran tak lagi bisa dibendung.
            “Golongan darah kamu apa, Nak? Rumah sakit kehabisan stok darah.” Kini suara umi terdengar bergetar. Hatiku mencelos.
            “HB kamu cuma 7, harus cepat ditransfusi. Tapi PMI ditelepon juga bilang lagi kosong. Harus cari dari pihak keluarga.” Sesaat tanpa kata-kata. Ruangan dipenuhi kegelisahan yang semakin menjadi-jadi.
            Lima jam sudah aku terbaring. Setelah umi mondar-mandir mencari beberapa labu darah akhirnya dapat. Rasa syukur menghapus sedikit muram di wajah umi. Demi tidak menambah kesedihan umi, kusembunyikan rasa takut yang membuncah. Aku takut darah orang lain, apalagi kini akan mengaliri seluruh tubuhku. Rabbie, kuatkanlah aku...
            Magrib tiba. Waktunya berbuka puasa. Rupanya rasa khawatir umi menghapus rasa lapar yang ditahan seharian. Aku begitu sedih. Beberapa waktu berlalu, abi datang dengan raut muka yang tak berbeda dengan umi.
            Aku membisu. Tak sanggup lagi bicara. Hanya telinga yang masih mampu kupasang sebagai respon dari pembicaraan orangtuaku. Hanya istigfar dan dzikir yang terlantun di hatiku. Waktunya shalat, tapi aku hanya mampu dengan berbaring. Batinku menangis pilu.
***
            Kesedihan sudah tak terlukiskan lagi. Aku menelannya seperti santapan setiap hari. Terasa hambar. Rasa pahitnya terlalu kuat sampai lidahku kelu untuk merasa. Kujalani hari-hari seperti air mengalir. Tak lagi mencoba menentang arus sama kalanya dengan saat-saat di Rumah Sakit sebelumnya. Rengekan hanya menambah pusing kedua orangtuaku.
            Pagi-pagi sekali, setelah mengurusiku ke kamar mandi dan berbenah umi pamit pulang. Kedua adikku di rumah tak bisa ditinggalkan lebih lama. Umi juga harus mengajar di sekolah. Aku tahu, alasan utamanya bukan itu. Umi begitu tersiksa melihat aku berulang-ulang dirawat di rumah sakit. Trauma menambah ketakutan akan kehilangan anak gadisnya lagi. Lebih baik umi pulang. Maafkan aku umi…
            Sama seperti di pagi hari saat aku dirawat dulu. Abi selalu mengaji disampingku. Kudengar lantunannya sambil berdzikir dalam hati. Karena hanya itu yang bisa kulakukan dengan aktivitas terbatas.
            Sampai waktunya pengambilan darah di tangan yang bebas. Pemeriksaan standar yang rutin setiap hari. Thermometer terapit di ketiak. Denyut nadi dan helaan nafas dihitung perawat per enam puluh detik. Kemudian labu darah yang sejak subuh tadi dibungkus handuk agar menjadi lebih hangat kini menggantung menggantikan labu yang habis.
            Demi orangtuaku, demi semua yang menyayangiku, dan demi kesembuhanku sendiri, kupaksakan mulutku terbuka menerima makanan. Kupaksa lagi tenggorokan menelannya setelah beberapa kali dikunyah. Tak lagi kuhiraukan walau makanan itu mendesak ingin keluar. Toples obat tersimpan di atas meja. Isinya berjumlah dua belas butir obat yang harus kutelan setiap pagi.
            Sejak dulu, aku selalu berharap seseorang menjengukku. Terutama sahabat-sahabat tercinta. Akh, lagi-lagi rasa sesal menguasai hatiku. Hp yang ditinggalkan tak bisa mengabarkan keadaanku saat ini. Perasaan terasing yang berkali-kali kuusir, berkali-kali pula menyapa. Pikiranku semakin semrawut kusut.
            Kuputuskan untuk meminjam hp abi. Tapi tak ada satu nomor pun yang kuingat. Aku sangat ingin meratap kala itu. Sangat ingin mengutuk diri. Mengapa aku terus dilanda cobaan seperti ini. Merasa begitu menjadi orang paling menyedihkan di dunia tanpa seorang teman pun yang ada di sampingku. Lagi-lagi aku menangis. Lupa bahwa ujian yang Allah berikan harus dijalani dengan ikhlas dan tabah.
            Assalamu’alaikum teman-teman, kalau mau jenguk aku di Rumah Sakit Rotinsulu. Status facebook pagi itu memang sedikit konyol, tapi cukup untuk memberitakan keadaanku. Selain dari keluarga, motivasi dari segenap teman-teman begitu sangat kubutuhkan.
            Aktivitas sepanjang hari didominasi dengan tidur. Mungkin efek dari seabrek obat yang kuminum. Di hari berikutnya aku mengulang hal yang sama. Huft. Begitu membosankan.
***
            Dua hari. Tiga hari. Tak kunjung seorang pun yang datang menjengukku. Pikiran buruk mulai menjamah akal sehatku. Jangan-jangan teman-temanku tak ada lagi yang peduli padaku. Akh, begitu sepi hari-hariku disini. Begitu bosan. Dan pikiranku semakin rancu.
            “Oekk…” makanan apapun yang masuk kumuntahkan kembali ke kantong plastik. Sejak hari pertama tak kunjung berhenti muntah-muntah. Tapi perutku tak boleh dibiarkan kosong. Rasa mual harus dilawan sekuat-kuatnya.
            Lagi-lagi, “Oekk…” kuputuskan untuk berhenti makan.
            “Ya kalau makanannya keluar, ya makan lagi. Keluar lagi ya makan lagi. Banyak makan kalau mau cepat sembuh.” Meski dengan nada agak jutek, aku menuruti apa yang dikatakan dokter. Sakit itu begitu menyiksa…
            Sering terpikir aku akan mati sebentar lagi. Mungkin aku lebih baik begitu, tak lagi mengkhawatirkan keluarga. Tak lagi merepotkan siapa pun lagi. Toh memang tak ada siapapun yang peduli lagi akan hidupku. Tapi bagaimana sikap keluarga, sahabat, teman, juga cintaku saat aku pergi dan tak kembali? Sedihkah? Bahagiakah?
            Lagi-lagi cinta. Benarkah itu sebuah cinta? Aku mengharapmu ada di sisiku…
            Anganku terbang menembus hari-hari di depan mata. Dapat dipastikan dalam jangka waktu yang cukup lama akan kembali ke kesendirian yang tanpa ujung, ke kesendirian yang takkan bisa memecah kesedihan. Berjalan dalam kesesatan di labirin yang diciptakan diri sendiri. Tak ada sepotong kayu yang bisa menyangga tubuh. Suasana begitu mencekik. Membuat hidup begitu merana…
            Aku ingin bayanganku kembali. Aku butuh seseorang.
            Tapi yang datang adalah pasien baru. Setelah kuperhatikan, ternyata begitu mirip dengan almarhumah kakakku. Usianya dua puluh tahun dengan badan yang sangat kurus. Belakangan kuketahui paru-parunya terendam cairan, sama seperti teman sekamar yang seorang lagi.
***
            Hujan begitu deras. Dibarengi dengan halilintar yang menyala-nyala. Guntur menggelegar dengan kerasnya. Hawa dingin tak sedikit pun tertahan meski dengan selimut tebal. Malam itu pamanku datang dengan basah kuyup. Abi sedang shalat di mushalla.
            “Na mau apa? Nanti Om belikan…”
            Hanya gelengan kepala sebagai jawaban. Seluruh tubuhku menggigil dan kejang sekaligus. Rasa kedinginan yang begitu dasyat. Perlahan kesadaranku kian berkurang. Yang terpikir dalam benak hanya kematian. Malaikat pencabut nyawa yang berada di sisi ranjang. Dengan sisa kesadaran aku berusaha melafadzkan syahadat. Aku takut mati, sangat takut dilempar ke neraka. Di dalam hati aku berjanji akan lebih baik jika masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi.
            Paman semakin panik melihatku kejang yang semakin menjadi-jadi. Geraman menahan dingin yang tak tertahan semakin kuat. Bel diatas tempat tidur lantas ditekan, memanggil perawat agar segera datang.
            Termometer diselipkan di leher. Tertera empat puluh koma tiga derajat celcius setelah bunyi bip. Detak jantung diperiksa menggunakan stetoskop. Beberapa hasil pemeriksaan dicatat dan samar terdengar beberapa perawat mulai panik.
            Tangan tempat transfusi darah berjalan membengkak sejak siang tadi. Semakin sulit menggerakkannya. Dengan kesadaran yang belum pulih terlupa rasa sakit disana. Perlahan kubuka mata sebisa yang kucoba. Kupaksakan bicara agar perawat menghentikan darah asing yang terus mengalir memasuki tubuhku.
            “De, transfusinya dilepas ya. Tubuh ade udah menolak menerima transfusi. Diganti sama cairan infus.” Masih geraman yang terdengar. Perawat tak membutuhkan persetujuan dariku. Tak lama mereka semua keluar menuju ruang jaga.
            Perlahn tapi pasti, tubuhku mulai berhenti mengejang. Rasa hangat mulai menjalar sampai ke ujung jari. Peluh membanjiri dahi dan pakaian. Aroma kematian terasa menjauh dari pelupuk mata. Rasa syukur begitu membuncah dalam dada. Kekhawatiran di wajah paman kini mereda.
            “Na udah sholat?”
            Aku menggeleng.
            “Sholat dulu ya..”
            Kini kujawab dengan sebuah anggukan. Kuusap muka lalu telapak tangan. Meski tak sempurna cukup sebagai tayamum. Aku dibantu mengenakan kerudung. Kemudian shalat dengan isyarat. Nyaris tak bergerak.
            Kepala terasa beribu-ribu ton. Berat sekali. Tanpa banyak kata, setelah shalat aku langsung tertidur.
***
            “Dokter aku pengen pulang…”
            “Nanti kalau HB nya naik lagi, hari sabtu boleh pulang.”
            “Bener ya, dok. Udah bosen disini.”
            “Pokoknya harus banyak makan ya...”
            Alhamdulillah. Tak ada lagi kejadian yang begitu ngeri untuk dibayangkan. Kondisiku semakin membaik. Asupan makanan dengan baik dicerna. Makanan apapun yang tersedia di samping tempat tidur kusantap hingga tandas. Terkadang aku meminta sesuai seleraku saat itu. Moodku memang membaik.
            “Abi, mau pisang…”
            “Mau jeruk…”
            “Ubi bakar…”
            “Keripik singkong…” Semua yang kuminta dicarikannya tanpa kecuali saat hujan mengguyur.
***
           
            Hari demi hari kulewati dengan lebih banyak diam. Termenung lebih lama dari biasanya. Ketiga kalinya aku dirawat, selama itu pula memang tak pernah ada yang menjengukku kesana. Kekecewaan begitu membuncah dalam hatiku. Teman sesama pasien selalu banyak dikunjungi. Bertanya-tanya dalam benak, kemana semua kawanku? Akh, biarlah… Mungkin saat aku terbujur kaku satu persatu dari mereka akan datang ke rumahku. Padahal saat itu aku tak lagi membutuhkan siapa pun lagi.
            Facebook. 3 friends request. 1 message. 18 notifications. Kuputuskan untuk membuka delapan belas pemberitahuan terlebih dulu. Dua belas komentar tertulis dan 25 hibah jempol di statusku beberapa hari yang lalu. Ajakan bergabung dengan fanpage. Undangan workshop, tag status, bahkan pemberitahuan dari grup yang kubuat, dll.
            Na… km sakit apa lagi? Cepet sembuh ya…
                Hei Na, udah baikan? Sekarang gimana keadaannya?
            Maaf  ya, aku ngga bisa jenguk kamu…
      Kok sms aku ngga kamu bales? Tadinya aku mau ke RS tapi aku ngga tau jalan. Terus katanya angkot ke RS cuma sampai magrib, aku baru pulang dari kampus. Besok aku udah harus pergi ke bandara. Maaf ya ngga jadi jenguk kamu nya.cepet sembuh ya beb.. :*
          Sabar ya, ini ujian buat kamu.. kamu harus kuat.. syafakillah ya…
            Komentar-komentar itu cukup menghibur. Walau ada rasa kecewa karena tak ada yang bisa datang. Aku begitu mengharapkan Disha mengunjungiku, apalagi masih di kota yang sama. Tapi perlu kupahami sebaik mungkin kesibukannya. Rasa kecewa yang tak perlu segera kutepis. Lain waktu Disha pasti datang menjenguk. Hiburku dalam hati.
            Notifikasi lain tak begitu menarik perhatian untuk kubuka. Satu pesan menjadi sasaran selanjutnya. Senyum yang terlukis di wajahku begitu kusut. Banyak sekali alasan yang menghalangi untuk datang ke tempat dimana aku berbaring saat ini. Aku jadi begitu sedih mengingat pengunduran diri dari sebuah PTN setelah pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Lagipula dalam satu tahun ke depan hanya masa istirahat tanpa aktivitas berat. Selalu menjadi hari-hari terberat saat sendirian merangkak dan tertatih menanggung ujian.
                Na, kemarin diriku mau jenguk bareng Nia. Tapi katanya dia ada urusan keluarga. Hari ini malah ga ada duitnya. Ngga jadi lagi deh. Sori ya. L
Dengan segera setelah selesai membaca, kupilih opsi reply.
Tak apa, santai aja lagi. Diriku udah baikan kok. Yah, ngga bisa kumpul bertiga lagi nih. Sori ya, diriku ngga jadi kuliah. Sampai ketemu tahun depan di kampus. Haha :P
 Perasaan sesal karena hp yang kutinggal sedikit demi sedikit terkikis. Obrolan via socmed yang masih sangat popular mengobati lukaku perlahan.
***
            Tak terasa sebentar lagi idul fitri. Saat-saat menjelang lebaran Rumah Sakit mulai terasa lengang. Beberapa pasien tampak berangsur membaik dan pulang. Aku serta teman sekamar tak sabar ingin pulang. Hari ini terasa begitu sangat panjang. Menanti saat pemeriksaan menjadi momen membosankan. Kubutuhkan seucap kalimat dari dokter yang memeriksaku setiap pagi, ‘Keadaan sudah baik, kamu boleh pulang’.


_bersambung_ 27 Januari 2014.          

Komentar

Posting Komentar